Salah satu upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan produktivitas daging di Indonesia adalah dengan melakukan program crossbreeding antara sapi lokal (Bos sondaicus) dengan sapi luar (Bos taurus), sapi bali merupakan salah satu diantara sapi lokal yang ada di Indonesia. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi lokal Indonesia yang sudah mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tropis bahkan di lingkungan yang kurang baik serta memiliki produktivitas yang tinggi (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004; Hansen, 2004).
Diantara sapi Bos taurus yang didatangkan sebagai bibit pejantan adalah sapi Angus. Sapi Bos taurus dipilih karena pada umumnya memiliki frame tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan sapi Bos sondaicus asli Indonesia, sedangkan sapi Angus dipilih karena memiliki bobot lahir lebih kecil dibandingkan sapi Bos taurus lain, sehingga tidak menimbulkan kesulitan beranak, namun setelah lahir menunjukkan pertumbuhan yang cepat. Sapi Angus berasal dari lingkungan subtropis, berasal dari dataran tinggi Skotlandia utara dengan karakteristik rambut dan kulit berwarna hitam, memiliki kemampuan produksi daging dan marbling yang sangat baik, dan mempunyai lingkungan sangat berbeda dengan di Indonesia yang termasuk wilayah tropis (IMS, 2001).
Persilangan Sapi Bali dan Sapi Angus
Adanya persilangan antara sapi Bali dan sapi Angus menjadi salah satu strategi untuk mendapatkan keturunan yang lebih produktif (Berman, 2011; Barendse, 2017), dengan keunggulan memiliki frame tubuh yang lebih besar, produksi daging dengan kualitas marbling yang bagus, terutama perbaikan sifat adaptif pada lingkungan tropis di Indonesia. Hal paling utama yang harus adalah diperhatikan dalam usaha pengembangan bangsa sapi cross kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan, tempat sapi akan dikembangkan, sehingga dapat diketahui apakah bangsa sapi persilangan dapat berkembang baik di kemudian hari dan menjadi harapan besar dari program perkawinan silang ini berkelanjutan.
Sapi persilangan Angus-Bali mulai dikembangkan di Kabupaten Bungo, Jambi. Menurut Data yang dihimpun dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bungo, Jambi, sampai tahun 2016 terdapat total 30,878 ekor sapi potong dengan rincian 12,589 ekor sapi Bali, dan sebagian besar merupakan sapi hasil persilangan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa sapi hasil persilangan seperti sapi persilangan Angus-Bali mulai banyak diminati masyarakat karena pertumbuhan yang lebih cepat dan ukuran tubuh yang lebih besar.
Lingkungan yang Cocok Untuk Pelihara Sapi
Lingkungan menjadi aspek yang sangat krusial dalam kehidupan makhluk hidup (Eniolorunda et al., 2009; West, 2003). Lingkungan merupakan tempat untuk hidup, tumbuh, dan berkembangbiak, lingkungan butuh diperhatikan dan disesuaikan dengan kebutuhan makhluk hidup. Lingkungan menjadi hal pertama yang direspon makhluk hidup dalam upaya adaptasi yang selanjutnya akan menentukan ideal dan tidaknya lingkungan tersebut untuk hidup (West, 2003).
Lingkungan tropis memiliki kerakteristik yang berbeda dibandingkan subtropis (De Almeida, 2018). Indonesia adalah negara beriklim tropis yang terbagi atas dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau, Suhu udara di Indonesia pada umumnya tinggi yaitu antara 24-34°C, dengan kelembaban antara 60-90%, disebabkan oleh radiasi matahari yang tinggi (Yani et al., 2007) dan bisa mencapai 35°C (Serang et al., 2016). Suhu lingkungan rata-rata di Kabupaten Bungo, Jambi, berkisar antara 22,49-31-12°C (Anonim”, 2018). Sapi termasuk ternak homeoterm sehingga suhu tubuh sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sapi harus menjaga suhu konstant 38,8°C ± 0,5°C (BVM dan MRCV, 2018) untuk tetap bisa tumbuh dengan optimal. Suhu lingkungan ideal sapi pada daerah tropis yaitu 25-37°C (Das et al., 2016).
Kemampuan adaptasi setiap bangsa berbeda dipengaruhi oleh genetic (Porto-Neto et al., 2014) dan lingkungan (Yani dan Purwanto, 2006). Dari factor genetik, sapi persilangan Angus-Bali dan sapi Bali memiliki perbedaan dalam fenotipik warna rambut dan warna kulit, sedangkan lingkungan memberikan input seperti panas dan melalui proses radiasi akan diterima oleh permukaan kulit (Berman, 2004; Athar, 2002) menyebabkan suhu permukaan kulit meningkat dan ternak melakukan usaha pelepasan panas pertama kali secara konveksi dan evaporatif melalui folikel permukaan kulit (Gebremedhin and Wu, 2002; Berman, 2011), sehingga karakteristik permukaan kulit seperti warna kulit, warna rambut, dan jumlah folikel ikut menentukan kemampuan adaptasi ternak (Berman, 2011; Fanta, 2017; Hillman et al., 2001; Pocay et al., 2001; Troxel et al., 2016). Kemampuan adaptasi dapat diketahui melalui status fisiologis yang meliputi suhu tubuh, frekuensi respirasi, dan pulsus (Eniolorunda et al., 2009; West,
Bangsa Sapi di Dunia
Terdapat sekitar 250 bangsa sapi yang telah diakui diseluruh dunia terbagi menjadi dua kelompok yaitu Bos Indicus, dan Bos taurus (IMS, 2001) dari total 1,019 bangsa sapi yang ada di dunia (Tsegaye dan Ebrahim, 2018). Bos indicus (tipe Zebu) adalah ternak berpunuk yang berasal dari daratan Asia. Bos indicus adaptif di lingkungan tropis dan sub-tropis. sedangkan Bos taurus merupakan sapi yang berasal dari wilayah sub tropis yang identik dengan berat badan dan pertumbuhan dagingnya (IMS, 2001). Adapun bangsa Bos sondaicus adalah bangsa sapi asli Indonesia yang yang telah adaptif di lingkungan tropis, merupakan hasil domestikasi banteng liar, mempunyai ciri spesifik bila dibandingkan dengan jenis sapi lainnya (Kendran et al., 2012). Suatu bangsa sapi dapat dikatakan sebagai bangsa asli apabila berasal dari keturunan yang sama dan memiliki karakteristik khas yang membedakan dari kelompok lain (IMS, 2001).
Sapi merupakan ternak homeotherm, sapi meregulasi panas di dalam tubuh dengan menyeimbangkan panas yang diproduksi dengan panas yang dikeluarkan (Silanikove, 2000). Regulasi panas terjadi melalui proses yang dipengaruhi oleh suhu di sekitarnya (sensible heat loss) seperti konduksi, konveksi, dan radiasi, serta dipengaruhi kelembaban lingkungan (latent heat loss) seperti dalam mekanisme berkeringat dan respirasi. Besarnya sensible heat loss melalui konduksi dan konveksi dipengaruhi oleh luas permukaan tubuh, besarnya perbandingan suhu lingkungan dan suhu tubuh serta proses perpindahan panas dari tubuh ke kulit dan dari kulit ke udara sekitarnya. Pertukaran panas tergantung pada luas permukaan serta sifat reflektif dari lapisan kulit. Kulit yang berwarna terang dan rambut yang tidak lebat mampu memantulkan panas yang lebih besar daripada kulit yang berwarna gelap dan berambut lebat. (Hansen, 1990).
Sapi Bali
Sapi Bali (Bibos sondaicus) berkembang baik di lingkungan tropis Indonesia (Talib et al., 2003) merupakan hasil domestikasi banteng liar (Kendran et al., 2012) di Bali, Jawa Timur (Mohamad et al., 2009) dan mewakili 27% dari total populasi sapi di Indonesia (Purwantara et al., 2012). Sapi Bali adalah satu dari empat dari bangsa sapi Asli Indonesia (sapi Aceh, sapi Pesisir, sapi Madura dan sapi Bali) (Martojo, 2011). Sapi Bali memiliki ciri ukuran tubuh yang sedang dan berdada dalam. Warna bulu sapi Bali biasanya merah, warna keemasan atau coklat tua. Ciri khas sapi Bali memiliki warna kaki sampai lutut serta pada bagian bawah paha berwarna putih. Warna bulu jantan lebih gelap dibandingkan dengan betina. (Williamson dan Payne, 1993). Sapi Bali merupakan bangsa sapi local dengan potensi genetik yang baik dan keunggulan sebagai ternak potong atau sapi penghasil daging. Sapi Bali memiliki kemampuan beradaptasi yang baik di lingkungan tropis dan mampu memberikan respon pertumbuhan yang baik dengan kondisi lingkungan dan kualitas pemeliharaan yang sederhana (Suranjaya et al., 2010).
Karakteristik Sapi Bali
Sapi Bali (Bos-bibos banteng) yang berasal dari domestikasi Banteng dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan setempat. Demikian pula dengan penyebaran pada lingkungan di luar wilayah Indonesia (tropis dan sub tropis), sapi Bali tidak mengalami kesulitan dalam arti fungsi reproduksi dan berjalan secara normal sebagaimana pada daerah asalnya. Sampai saat ini penyebaran populasi sapi Bali telah meluas yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Pulau Jawa kecuali Propinsi DKI Jakarta. Konsentrasi sapi Bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok (Tanari, 2001).
Karakteristik ternak sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis hitam yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Sapi betina memiliki bentuk tanduk ideal yang disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam (Hardjosubroto, 1994). Sapi Bali memiliki keunggulan dalam produktivitas dagingnya dibandingkan dengan sapi lainnya. Persentase karkas sapi Bali cukup tinggi yang berkisar antara 52-57,7%, lebih baik dibandingkan sapi Ongole dan sapi Madura yang dilaporkan Moran (1979) berturut-turut sebesar 51,9 dan 52,5%. Hasil penelitian Arka (1984) menunjukkan bahwa kandungan lemak daging Sapi Bali cukup rendah dan tanpa marbling, yang merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki daging sapi Bali.
Sapi Bali yang menyebar dibeberapa wilayah Indonesia mengindikasikan bahwa sapi Bali memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan kekebalan terhadap penyakit yang sangat baik (Chamdi, 2005 cit. Rachma et. al., 2011). Sapi Bali di Indoneisa sebagian besar dipelihara dengan tiga macam sistem pemeliharaan, diantaranya penggembalaan di lahan rumput terbuka, penggembalaan di area perkebunan, dan dikandangkan. Tiga macam sistem pemelihaan tersebut tidak melibatkan pemberian pakan dengan kualitas yang baik, kuantitas maupun kualitas (Rachma et al., 2011).